Oleh:
Indy Hardono
Kartini memang berkebaya. Tapi, dia
tetap lincah dengan kebayanya. Bahkan, dia dapat berlari kencang dengan tetap
berkebaya.
Kartini patuh dan hormat pada akar
budayanya, dan bersedia menjadi bagian dari akar budaya. Karena itulah, dia
tetap berkebaya setiap harinya.
Tapi, kebaya tidak dapat mengekang
hasrat Kartini untuk mendobrak. Dia berusaha melompati pagar dengan kebayanya.
Bukan untuk lari atau mendobrak akar budaya, tapi untuk lari dari
keterbelakangan dan mendobrak keterkukungan.
Fiber optic
Kartini hanya seorang putri Bupati
Jepara yang setiap harinya hanya memiliki ruang lingkup sebatas kota tempatnya
tinggal. Tapi, kota kecil Jepara tak dapat mengukung Kartini.
Jiwanya terbang melintas samudera dan
benua. Pikirannya berkelana sampai jauh, padahal pada masa itu belum ada serat
optik (fiber optic) atau gadget canggih terkini.
Pikiran, jiwa dan hati Kartini bagaikan
gelombang elektromagnetik yang dapat mengirimkan informasi secara cepat. Tidak
terbendung oleh luasnya pantai Jepara. Bahkan, passion, pikiran, serta
kerisauannya tertransmisi secara cepat sampai ke Negeri Belanda, sebuah negeri
tempat tinggal kawan baik Kartini yang siap menjadi receiver dari apa
yang ditransmisikan oleh Kartini.
Tak cukup menggambarkan Kartini sebatas
emansipasi. Tidak berimbang jika Kartini "hanya" diposisikan sebagai
pahlawan perempuan. Kartini adalah refleksi perempuan multidimensi.
Kartini adalah perempuan yang memegang
teguh budaya dan kearifan lokal. Dia bahkan menempatkan hal tersebut di atas
segalanya. Itu terbukti dengan "menyerahnya" Kartini menjadi selir.
Kartini adalah perempuan yang melakukan
transformasi dan lompatan pemikiran. Ia sosok progresif. Ia adalah perempuan
yang sadar bahwa sebuah momentum memerlukan gerak.
Gagalkah Kartini?
Pada akhirnya Kartini memang
"menyerah" pada adat, pada kepatutan. Tapi, pikiran, dan jiwa
progresifnya, yang sudah di-relay tetap ada dan tertransmisi dengan baik
ke semua perempuan Indonesia.
Pikiran, jiwa, hasrat, passion
Kartini bagaikan sel mitokondria yang seharusnya termutiplikasi di semua rahim
perempuan Indonesia. Penelitian sudah membuktikan bahwa sel mitokondrialah yang
bertanggung jawab terhadap kecerdasan seorang anak. Sel itu hanya dimiliki oleh
perempuan.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
"Ibumu, ibumu, ibumu!! Perempuan adalah supreme! Karena dia menjadi
penentu sebuah peradaban yang dikandung di rahimnya, yang disusuinya, yang
diasuhnya dan yang dididiknya!
Jadi, ada pilihan kalimat 'mengapa
ibumu?' Karena, memang dialah orang yang paling "patuh", tapi dia
juga orang yang paling progresif mendobrak batas-batas dengan kekuatan cinta,
jiwa, dan hasrat. Dialah yang melakukan transformasi dari gelap menjadi terang,
dari sesat menjadi terarah, dari mustahil menjadi nyata.
Jadilah ‘Kartini‘
Jadilah ‘Kartini‘
Kartini adalah kepatuhan pada ‘kebaya’,
kecepatan dan kelincahan mentransmisi nilai-nilai, passion dan inspirasi
bagi anak-anaknya. Kartini adalah mitokondria bagi bangsa ini, yang mewariskan
progresifitas dan keunggulan cara berpikir yang merupakan modal bagi
pembentukan manusia unggul dan kompetitif.
Jadilah perempuan Indonesia yang luwes
berkebaya, tapi mampu berlari secepat dan sejauh gelombang elektromagnetik pada
serat optik dan mewariskan inspirasi "mitokondria' bagi generasi penerus
bangsa.
Selamat memaknai Hari Kartini!
0 komentar :
Post a Comment